Selasa, 22 Februari 2011

Sekatenan Di Bulan Maulid Di Jogjakarta


Sekaten merupakan wisata yang rutin dilakukan oleh pendudukdan kesultanan jogja. karena ke jogja kemarin bertepatan dengan peringatan maulud nabi muhammad saw. Seperti halnya kebiasaan orang jawa khususnya jogja acara sekatenan dan grebek maulud sering dilakukan oleh pihak pemerintah jogja dalam menyambut hari maulid nabi.
Acara Sekatenan kemarin dibuka Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Paku Alam IX, dan berlangsung hingga 20 Maret, dengan menggelar berbagai atraksi seni dan budaya serta ekonomi.


 
Menurut informasi yang saya dapat dari orang jogja, Perayaan sekaten ini diantaranya meliputi "Sekaten Sepisan" yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, kemudian pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Yogyakarta dan ditutup dengan Garebeg.
Sedangkan keramaian penunjang berisi kesenian rakyat tradisional yang menyertai upacara tradisional seperti penjaja makanan tradisional, mainan tradisional serta kesenian rakyat tradisional.





Ngomong-ngomong tentang sekaten, kayaknya kurang afdhol rasanya kalo saya nggak ceritain apa dan bagaimana sebenernya sekaten itu. Jadi begini. Sekaten sebenarnya adalah suatu rangkaian kegiatan yang diadakan oleh Keraton Kasultanan Ngayogyakarta dan masyarakat setempat untuk memperingati hari lahir atau maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini meliputi beberapa macam kegiatan, mulai dari ritual keagamaan sampai apresiasi seni dan budaya. Ohya, termasuk pasar malam dengan berbagai wahana hiburan rakyatnya juga. Ternyata budaya sekaten yang ada ini udah terlaksana sejak dulu banget lho, tepatnya sejak kerajaan Demak mulai berkuasa di wilayah Jogja. Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala ”Sirna Hilang Kertaning Bumi”. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara.


Raden Patah, sebagai raja Islam, bertekad untuk memajukan tersiarnya agama Islam di seluruh kerajaan. Dia berupaya membuat rakyatnya memeluk dan meyakini Islam sebagai agama mereka, termasuk masyarakat yang telah memeluk agama hindu. Demi cita-cita itu, Raden Patah akhirnya mengadakan pertemuan dengan para wali sembilan, di antaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan itu membahas cara menyiarkan Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga mempunyai usul tentang penyiaran agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu memeluk agama Hindu. Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam, misalnya semedi yang diganti dengan sholat, sesaji yang diganti dengan zakat fitrah, dan keramaian yang dialihkan menjadi memperingati hari-hari besar Islam.
Karena masyarakat suka dengan gamelan, maka di hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW diadakanlah acara tabuh gamelan agar orang-orang tertarik dan berkumpul. Saat itulah mereka diberi 'ceramah' tentang dasar-dasar agama Islam, salah satunya tentang syahadatain. Dari bahasa arab 'syahadatain' lah kata sekaten berasal. Dua kalimat syahadat, adalah ikrar yang harus diucapkan pertama-tama ketika seseorang masuk Islam, yang artinya tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat itu juga ditulis di atas pintu gerbang masjid. Karena banyak orang yang datang berduyun-duyun ke masjid dan banyak yang bermalam, maka banyak pula orang yang berjualan di sekitar masjid dan alun-alun.
Pada perayaan itu, para Bupati pesisir juga datang ke alun-alun sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat perkemahan di sana. Kemudian mereka menghadap Raja dan menggiringnya ke masjid. Karena banyaknya orang yang menggiring raja tersebut, timbul perkataan ”Garebeg” yang berasal dari kata ”anggrubyung” yang berarti menggiring. Sampai sekarang, tradisi ini masih dipertahankan dalam bentuk arak-arakan gunungan oleh prajurit-prajurit keraton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar